Rabu, 18 Februari 2015

Kemajuan Teknologi, Untuk Kesetiakawanan*


     Perkembangan pesat teknologi di awal abad 21 atau yang lebih dikenal dengan abad millcnium, menuntun kita untuk beralih dari cara- cara dan alat tradisional yang terkesan lamban untuk digantikan dengan sesuatu yang nota bene bisa digunakan secara cepat (instant). Konsekuensi terhadap kemajuan teknologi jelas ada, baik yang positif maupun negatif. Tentu saja, pada abad tahun 2000 an jarang ditemukan anak-anak sekolah yang mampu mengoperasi teknologi secara mahir. Namun belakangan ini anak-anak sekolah sudah pandai mengoperasikan kecang- gihan teknologi seperti computer , menggunakan HP (hand phone), Handy camera, digital camera bahkan mahir menjelajahi dunia maya di internet. Sebuah trend teknologi yang dinilai sudah membludak saat ini.
     Namun, dibalik kemampuannya mengoperasikan berbagai teknologi tentunya banyak lupa akan teknologi itu sebetulnya manfaat yang hatus dipenuhi. Artinya, bukan hanya me- nguasai teknologi semata. Tapi, teknologi itu bisa bermanfaat untuk diri dan orang lain. Karenaannya, wajar dampak yang dipikirkan dari tekno­logi itu, mereka akan condong bersifat ego dan hidup secara sendiri-sendiri karena mengganggap teknologi bisa menyelesaikan berbagai permasalahan.
Tentu saja, Imhasnya dari tekno­logi bagi anak-anak sekolah yang merupakan embrio generasi muda akan mengikis budaya gotong royong dan rasa kesetiakawanan.
Sikap budaya loe dan guwe adalah sebuah tanda adanya sifat keegoan dan sikap yang tidak memperdulikan orang lain kini sudah tampak ke permukaan. Hal ini disebabkan kemudahan-kemudahan yang didapat dalam kebutuhan berteknologi tanpa harus melibatkan orang lain. Inilah realita yang dihadapi saat ini.
     Bukan hanya itu, dampak dari teknologi pun sangat. terasa di zaman sekarang ini. Masyarakat tampaknya bila sudah berhadapan dengan teknologi sudah mengatakan dirinya hebat. Sehingga dengan sikap demikian, rasa ego dan hanya ingin menang sendiri begitu tampak ke permukaan. Persoalan itu sernua, karena teknologi dianggap mereka sebagai upaya penyelesaian terakhir. Padahal, tidaklah demikian.
    Karena itu, bcrangkat itu semua banyak hal yang bisa untuk kembali membangkitkan semangat kesetia- kawan mclalui kegiatan teknologi. Diantaranya, mengeliminasi indivi­dualisme yang mengarah keegoisme karena manusia tidak akan pernah mendapatkan apa yang sudah didapat tanpa keterlibatan orang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikutnya, juga tentunya tidak terfokus pada kecanggihan teknologi untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Selanjutnya, memanfaatkan kemajuan teknologi untuk berkomunikasi karena komunikasi merupakan lem yang berfungsi sebagai perekat antar individu.
     Akhirnya, rasa kesetiakawanan itu mempunyai penjabaran yang sangat luas. Tentunya, hal itu berpulang kepada seimpunya untuk mengguna­kan teknologi sebagai upaya untuk memupuk kesetiakawanan. Oleh karenanya, tidak dibutuhkan waktu yang terlalu lama hingga beberapa jam untuk bersimpati dan berempati dalam membangkitkan kembali rasa kesetiakawan. Cukup meluangkan waktu satu menit saja dari waktu kesibukan kita untuk melakukan komunikasi dengan orang-orang yang berada di sekitar kita. Tapi, yang lebih penting, adanya kesadaran dan keinginan untuk mengakui hidup kita adalah bagian hidup dari orang lain, karena keberhasilan manusia tidak akan pernah ada tanpa kehadiran manusia. Sedangkan teknologi sebetulnya hanya alat untuk mencapai kesetiakawanan.Bukankah Demikian.

* Terbit pada Majalah Bulanan SUAR NO.15/TH II/OKTOBER 2007 Hal 45 Penerbit YAYASAN SUAR BANGSA Alamat Redaksi Jl. Jenderal Sudirman N0.17 Tanjungpandan-Belitung  33412 Telp 0719-22064

Kampus dan Organisasi Kemahasiswaan*

       Pernahkah Anda mendengar kata Kampus?. Tentu bagi orang tua yang punya anaknya kuliah atau punya teman yang masih kuliah, maka paling tidak, kata kampus sudah akrab bagi mereka. Tapi, bagi yang tak memiliki anak kuliah tampaknya akan sulit menemukan pembicaraan soal kampus. Berbeda di kota-kota besar. Kata kampus sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Maklum saja, di tanah Jawa perguruan tinggi sudah menjamur dan sudah kental dengan istilah sebuah kampus. Sedangkan di daerah, jumlah perguruan tinggi bisa dihitung dengan jari apalagi misalnya di Kabupaten Belitung. Dan kata-kata kampus masih sangat awam bagi kalangan masyarakat. Yang jelas, kampus merupakan kata yang melekat pada nama bangu- nan pada semua perguruan tinggi. Ambil contoh saja, Kampus Akademi Manajemen Belitung". Untuk memu- dahkan pengucapan tan pa harus me- ngikuti keterangan tempat maka sering diungkapkan dengan kampus saja.
  Dalam bahasa Inggris, Kampus dinilis campus. Bila dipisabkan suku katanya memiliki dua pengertian. Yakni, Camp (tempat tinggal scmenta- ra/tendah) dan Us (kita). Sehingga kalau diinterprestasikan campus sebagai tempat tinggal kita sementara. Lantas bagaimana menurut baha­sa Indonesia? Kampus diartikan seba­gai komplek perguruan tinggi. Dengan demikian kampus dapat bermakna sebagai tempat sementara kita untuk menggali ilmu di jenjang perguruan tinggi. Kampus adalah jenjang pendidi- kan perguruan tinggi, setelah menamatkan Sekolah Menengah atau sederajat seperi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang diikuti dengan organnisasi kemahasiswaan beserta kegiatan-kegitannya. Namun,akan menjadi pertanyaan bila kampus tanpa ada kegiatan keorganisasian Kemahasiswaan..
   Secara jujur, hasil survey selama penulis menjadi staf pengajar di Perguruan Tinggi  di Belitung,  terdapat perbadaan khas antara di Belitung dan perguruan tinggi di tanah Jawa khususnya pada sisi jam perkuliahan. Untuk kampus yang ada di tanah Jawa,  jam perkuliahan dilakukan pagi hingga sore hari, kecuali untuk kelas eksekutif yang perkuliahan malam  hari atau sabtu minggu (week end). Berbeda dengan di Belitung Kampus swasta maupun negeri yang ada di wilayah ini seperti kampus B STAIN Syeikh Abdurrahman Siddik memulai perkuliahan pada sore hari (14.00 hingga 20.00 wib).
Tentu saja, perkuliahan tersebut berimplikasi pada kegiatan keorganisasian kemahasiswaan akan terasa minim. Mahasiswa terkesan hanya  belajar lalu pulang. Apalagi ,jenis pendidikan pada perguruan tinggi merupakan jenis pendidikan formal yang banyak sekali ilmu dari materi kuliah yang disediakan. Sehingga kondisi inilah yang memungkinkan dan membuat jarang sekali ada kegiatan-kegiatan yang herhubungan dengan keorganisasian mahasiswa. Padahal tidaklah demikian, orga­nisasi kemahasiswaan juga sangat penting untuk berinteraksi, dan pe- ngembangan kualitas diri melalui berbagai event organisasi yang ada di kampus.
     Oleh karcna itu, kehidupan kampus, bagi para mahasiswa diharap- kan tidak hanya datang, duduk, dengar, absensi dan pulang saja. Tetapi selain kegiatan perkuliahan yang diorientasi- kan untuk pengembangan pola pikir, dikampus pula mahasiswa juga berinte­raksi sosial dengan mengikuti organisa­si kemahasiswaan.
     Di zaman serba teknologi ini, sudah seharusnya kehidupan sebagai mahasiswa diisi dengan kegiatan yang herhubungan dengan keorgansisasian mahasiswa yang ada di lingkungan kampus seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam), LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), HMJ (Himpunan Maha­siswa Jurusan), UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan masih banyak lagi organisasi kemahasiswaan lainnya. Berangkat dari hal itu semua, selama rekan-rekan masih menyandang status sebagai mahasiswa, marilah isi kehidupan sebagai mahasiswa untuk aktif dalam kegiatan keorganisasian seperti yang disebutkan diatas. Sebab, banyak hal positif diluar materi kuliah yang nantinya akan didapat. Semoga"

*Terbit pada Majalah Bulanan SUAR NO.10/TH I/15 April -15 Mei 2007 hal 14
Penerbit YAYASAN SUAR BANGSA Alamat Redaksi Jl. Jenderal Sudirman N0.17 Tanjungpandan-Belitung  33412 Telp 0719-22064

Mengontrol Konflik di Kelas*


      Mendengar kata konflik, mungkin sebgian dari kita akan berdiri bulu kuduk apalagi konflik dari judul tulisan ini, tcrjadi dikclas dan mernang sengaja di- buat oleh dalang (orang yang menjadi otak atau mcngatur suatu gerakan atau ativitas), siapa dalangnya mereka adalah sehari-harinya yang bertugas sebagai pendidik dan pengajar di sekolah yaitu guru.
      Kata Konflik yang selama ini terdoktrin dalam pikiran kita adalah hal-hal yang berbau negatif, apalagi belakangan ini pemberitaan di media massa cetak maupun elektronik tereks- pose konflik sosial atau pertikaian antara masyarakat yang berbau SARA (Suku Agama Ras dan Antar golo- ngan). Konflik yang dcmikian ini se- sungguhnya memang bukan konflik yang kita harapkan dan tentu saja harus kita redam atau hindari, karena konflik terseblit merupakan konflik yang rusak dan sangat merugikan banyak pihak. Bayangkan saja berapa detik orang- orang yang bermukim di daerah kon­flik terganggu psikisnya ketakutan ka­rena pertikaian, berapa menit mereka harus waspada dengan situasi dan kon- disi yang ada dan berapa jam mereka harus menjaga diri dan harga benda
mereka walaupun sebenarnya mereka tidak tahu duduk permasalahan yang sebenarnya.
  Secara etemologi bahasa "konf­lik" merupakan pertentangan. Konflik batin merupakan pertentangan barin, konflik sosial merupakan pertentangan antar anggota masyarakat, sedangkan konflik dikelas penulis mencoba mendeskripsikan pertentangan atau persaingan siswa di kelas.
      Seperti yang telah dipaparkan di atas konflik pertikaian yang rusak dan merugikan banyak pihak jelas harus kita hindari, tetapi perlu diingat juga tidak semua konflik harus kita hindari, untuk konflik ini justru harus terjadi di kelas dan dididalangi oleh para guru. Membuat konflik di kelas yang dimak- sudkan di sini yaitu untuk mcmcipta- kan susasan pertentangan atau persai­ngan belajar antara siswa di kelas baik itu menggunakan sistim pembelajaran seeara berkclompok maupun indivi­dual. Dengan adanya konflik diharap- kan untuk memotivatsi siswa mencari tahu bagaimana bisa mengungguli rekannnya dalam pTestasi belajar.
     Sekilas dapat digambarkan, de­ngan menciptakan konflik di kelas para guru dapat mengukur sekaligus menilai sejauh mana Rencana Pembelajaran (RP) yang telah dibuat bisa berhasil dan sesuai dengan target yaitu siswa bisa paham isi dari maleri yang disampai- kan. Selain itu juga para guru bisa me­nilai peserta didik mereka yang sudah memahami isi dari materi dan yang belum dipahami. Sedangkan dari sisi siswa dengan adanya konflik mereka bisa mengukur apa kekurangan diri mereka dan kelebihan dari rekannya.
     Konfik yang diciptakan di kelas kita golongan saja sebagai konflik kecil atau ringan karena hanya terjadi di kelas dan masih bisa dikontrol. Lantas apakah nantinya konflik tersebut bisa meningkat statusnya menjadi konflik yang besar sehingga siswa didik tidak mail lagi untuk belajar datang kc seko­lah. Disinilah kami sampaikan letak mengatur suasana konflik untuk menjadi tidak besar, dengan memberi- kan pengertian dan motivasi arah dari tujuan konflik yang sengaja diciptakan, yaitu bertujuan untuk membuat siswa lebih aktifdan produktif dalam belajar, sehingga nantinya prcstasi belajar bisa tercapai dan tidak mengccewakan baik dari pihak pendidik, orang tua dan siswa itu sendiri.

* Di terbitkan pada Majalah Bulanan SUAR NO.8/TH I/15 FEBRUARI-15 MARET 2007 Hal 27 Penerbit YAYASAN SUAR BANGSA Alamat Redaksi Jl. Jenderal Sudirman N0.17 Tanjungpandan-Belitung  33412 Telp 0719-22064

Sabtu, 07 Februari 2015

Nama Desa dari Bahasa Daerah Merupakan Identitas*

  Pernah melihat air?, Pernah minum air?, Jelas sekali pertanyaan tersebut tidak perlu berpikir panjang atau analisa yang lebih mendalam untuk menjawabnya karena semua makhluk ciptaan Tuhan di dunia ini baik itu Manusia, Hewan dan Tumbuhan bisa dikatakan pasti membutuhkan air bahkan ada diantaranya yang hidup dari air. Jadi tak heran jika selain digunakan untuk tubuh manusia air juga dapat digunakan untuk berbagai hal seperti membuat makanan, menyirami tumbuhan, perantara pengobatan dan lain sebagainya.
     Dari data yang didapat negara kita Indonesia pun ternyata 2/3 dari luas wilayah negaranya terdiri dari air tepatnya air laut. Kamus bahasa Indonesia mengartikan air merupakan kata benda yaitu benda cair yang berasal dari sumur, sungai, laut, danau dan sebagainya, tak heran jika banyak yang terinspirasi karena air misalnya saja petuah melayu berikut ini “bagai air di daun keladi” yang bermakna bahwa sesuatu yang tidak bisa akur, tidak bisa disatukan karena selalu berbeda pandangan, selalu berubah-ubah karena tidak ada pendirian atau ada juga filosofi hidup yang terinspirasi dari air seperti “Mengalir seperti air dari atas kebawah” yang bermakna bahwa menjadi seorang pimpin yang baik harus bersosiliasi kepada bawahan atau karyawan atau masyarakat tidak hanya berdiam diri saja pada jabatanya.
      Air Menurut Bahasa Melayu Belitung atau bahasa daerah belitung disebut aik (bacanya seperti kata “kakak” atau “tamak”, tanpa penekanan “k” pada kata “salak”) sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut air. Bahasa Indonesia itu sendiri merupakan bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 pada pasal 36 yang berbuni bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Melayu Belitung, aik yang bermakna sama dengan air dalam bahasa Indonesia serta kegunaannya yang sudah pasti sama pula.
   Di daerah lain di negara kita Indonesia, mereka mempunyai nama lain untuk air, seperti di Jawa barat, air disebut Ci, daerah Jawa Tengah disebut Banyu, begitu juga di Kalimantan ada juga yang menyebut air sebagai banyu, dan tak jarang banyak yang memberikan nama daerah atau desa diawali dengan nama air. Sebagai contoh untuk di Jawa Barat, ada nama Kabupaten yang diadopsi dari bahasa daerah yang bermakna air tepatya Kabupaten Ciamis, Cimahi dan Cirebon, Banyuwangi untuk salah satu daerah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Banyumas untuk salah satu daerah Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
   Keunikan suatu daerah menurut penulis tidak hanya ditunjukan oleh makanan, minuman, pakaian ,adat istiadat daerah tersebut keunikan atau dapat dikatakan sebagai identitas bisa juga ditunjukan dengan dengan nama tempat tersebut seperti contoh tempat di Jawa Barat tadi mereka dengan Bangga menggunakan bahasa daerah mereka yang unik jika kita dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Indonesia, untuk memberi nama Kabupaten dan daerah lainnya diwilayah Propinsi Jawa Barat, sebagai komparasi di Belitung banyak sekali nama-nama tempat yang menggunakan kata benda cair sebagai petunjuk batas wilayah seperti Air Saga, Air Merbau, Air Kongkeng, Air Raya, Air Mungki, Air Malik dan masih banyak yang lain daerah yang mengunnakan air sebagai petunjuk tempat atau batas wilayahnya.
   Nama Belitung dalam bahasa daerah Belitung adalah Belitong yang dulunya pada zaman penjajahan bernama Billiton memang tidak bisa dipungkiri merupakan subkultur dari Melayu sebagaimana yang tertuang dalam Ensiklopedi Umum 1991, memaparkan bahasa Melayu meliputi:Melayu Riau-Lingga/Melayu Johor termasuk Melayu Bangka, Melayu Natuna, Bunguran, Ulu , Melayu Biliton dan Melayu Mergui/Pashu.
    Melalui ini tulisan sederhana, penulis mengajak, jangan malu dan sungkan mari kita bangga memberikan nama pada desa/dusun atau daerah kita dengan nama yang diadopsi dari bahasa daerah kita sendiri karena hal ini merupakan indentitas kita sebagai subkultur Melayu yang mempunyai keunikan atau cirri khas tersendri dari bagain Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri dari berbagai Suku, Budaya dan Bahasa. Bukan begitu?


* Tulisan ini Pernah di Terbitkan Oleh Majalah SUAR Tahun 2008 Penerbit/ Yayasan Suar Bangsa
ALAMAT REDAKSI/IKLAN Jalan Jenderal Sudirman No.17 Tanjungpandan 33412,Telp (0719) 23437 email suarbelitong@yahoo.com ALAMAT BIRO JAKARTA Jalan Tebet Barat XB No.4 Jakarta Selatan (021) 93620345 ALAMAT BIRO BELITUNG TIMUR Jalan Gajah Mada B54 Manggar, Belitung Timur. Majalah SUAR